Search

Jardiknas dan Kisruh Pengelolaanya

Masuklah ke milis Dikmenjur (salah satu milis pendidikan Indonesia yang paling ramai, 5000+ member) beberapa hari belakangan ini, ramai sekali membicarakan perpindahan pengelola Jardiknas (Jaringan Pendidikan Nasional) dari Biro Perencanaan & Kerjasama Luar Negeri (BPKLN) Depdiknas RI kepada Pustekom Depdiknas RI. Kalau membaca diskusinya, kisruh tampaknya bermula dari semacam adanya “kudeta” dalam proses pengalihannya, kemudian topik berkembang menjadi diskusi tajam soal anggaran (baca: uang).

Saya terus terang tidak mengikuti secara mendalam diskusi-diskusi yang terjadi dan apa yang sebenarnya sedang terjadi, namun saya sharing saja sedikit mengenai pandangan saya mengenai kasus unik ini, tentu saja dari pandangan saya yang sempit dan berada diluar lingkaran Depdiknas.

Bermula dari figur bernama Gatot HP, seorang Doktor lulusan Jerman yang bidang kompetensi utamanya adalah teknologi informasi & komunikasi (TIK). Saya kenal beliau pada saat menjabat sebagai Kepala Dikmenjur (Pendidikan Menengah Kejuruan). Pada saat itu saya kebetulan sedang mulai bergelut sebagai Kepala Sekolah SMK TI Airlangga di Samarinda. Dengan visi dan spiritnya yang tinggi, pak Gatot HP kemudian menginisiasi banyak kegiatan yang mengarah pada pemanfaatan TIK untuk sekolah-sekolah kejuruan di Indonesia.


Salah satu program yang fenomenal menurut saya adalah konsepnya untuk membuat ICT Center di setiap Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Motor setiap ICT Center adalah SMK yang dianggap paling mampu di setiap lokasi. ICT Center diharapkan mampu merangkul semua mitra potensial di daerahnya untuk diberdayakan memajukan TKI di seluruh komponen pendidikan di daerahnya masing-masing. Melalui program-program di Dikmenjur, pak Gatot HP kemudian melengkapi ICT-ICT ini dengan berbagai fasilitas berikut dananya. Jatuh bangun, berhasil tidak berhasil, akhirnya pelan-pelan terbentuklah pusat-pusat kegiatan pemberdayaan TKI untuk pendidikan di daerah-daerah. Mulai dari penyediaan akses Internet, sharing akses jaringan ke sekolah-sekolah, hingga pelatihan-pelatihan tenaga teknis TIK untuk sekolah-sekolah.

Saya kebetulan ada di lingkaran ini dan menyaksikan sendiri geliat perkembangannya, tidak hanya di Samarinda tapi juga di seluruh Indonesia melalui milis Dikmenjur di Yahoogroups yang memang awalnya dibuat untuk mendukung program-program Dikmenjur. Sangat banyak tantangan, sangat banyak kisah kegagalan, sangat banyak keluhan-keluhan para pejuangnya di lapangan dan di sudut-sudut pelosok Indonesia dalam menjalankan mimpi besar pak Gatot HP ini. Sangat banyak tabrakan teknis di lapangan, sangat banyak tabrakan sosial budaya dengan pemerintah daerah setempat, begitu banyak kritik dari kanan dan kiri Depdiknas… Namun beliau jalan terus… salut…

Hasilnya, terasa sekali! Melalui Dikmenjur, SMK-SMK memang berhasil menjadi motor didaerahnya masing-masing untuk menjadi pionir pemanfaatan TIK di sekolah-sekolah (mulai dari SD, SMP hingga SMA/K). Tentu saja tidak semua, ada daerah yang ICT Center nya mati, ada yang jalan seadanya, tapi banyak juga yang maju. Di beberapa ICT Center yang maju, tim mereka bertindak sangat profesional dalam membangun jaringan komputer dan Internet antar sekolah yang kemudian menjadi cikal-bakal Jardiknas. Suatu mimpi besar berikutnya mulai lahir…

Bandingkan dengan kisah INHERENT (jaringan komputer antar perguruan tinggi se-Indonesia) yang dikelola Dikti (Pendidikan Tinggi) Depdiknas RI. Saya lihat pengembangan INHERENT lebih banyak bersifat top-down dan formal. Jardiknas ala Dikmenjur dikelola berbasis komunitas. Ribuan teknisi dan penggunanya di lapangan adalah para “pejuang” yang sebagian besar digerakkan idealisme yang tinggi tanpa menuntut macam-macam… Maklum sebagian besar pejuang grass root Jardiknas adalah para guru di SMK yang seakan tersiram air sejuk menyaksikan sepak terjang Dikmenjur (dan pak Gatot HP) yang memang diarahkan untuk memberdayakan seluruh potensi di lapangan untuk memajukan pemanfaatan TIK di Indonesia. Orang-orang muda yang potensial dan punya kompetensi tinggi dari daerah diberikan kesempatan untuk maju ke tingkat nasional. Muncul lah nama-nama seperti Kwarta Adiprama dari Malang dan Khalid Mustafa dari Makassar (saya hanya kenal mereka dari milis). Mereka ini orang-orang daerah yang vokal dan kompeten, oleh pak Gatot HP diorbitkan dan diberi kesempatan berkiprah memajukan Dikmenjur di level nasional.

Gerakan-gerakan Dikmenjur menurut saya memang radikal dan berani.

Kemudian muncul lah program Jardiknas secara resmi. Kemudian pak Gatot HP dipindahkan ke Biro Perencanaan & Kerjasama Luar Negeri (BPKLN). Uniknya, program yang beliau rintis di Dikmenjur kemudian dibawa juga pindah ke posisi barunya. Secara logika, memang aneh… BKPLN yang merupakan sebuah alat supporting dalam organisasi tapi mengelola program teknis operasional di lapangan. Tapi, anything can happen di negeri kita.

Entah kenapa, setelah saya tidak mengikuti perkembangan karena tidak aktif lagi di SMK, saya mendengar bahwa Pustekom masuk dan langsung mengambil alih program Jardiknas. Kabarnya, Pustekom mengambil seorang pentolan Jardiknas untuk menjalankan program maha besar ini. Kemudian muncul lah pandangan-pandangan baru karena “roh” pak Gatot HP yang selama ini menjiwai semuanya kemudian hilang dan diganti oleh orang lain. Koneksi internasional 100 Mbps Jardiknas melalui Telkom (aiatu Indosat?) diputus, konon karena katanya Pustekom menganggap bahwa hal ini tidak efektif… Padahal ribuan guru dan siswa di seluruh pelosok nusantara melalui node-node ICT Center telah menikmati Internet gratis sebelumnya.

Secara alamiah, tampaknya muncul “perlawanan” atau mungkin halusnya “resistensi” terhadap gerakan-gerakan Pustekom dalam menjalankan Jardiknas. Orang-orang lapangan (berbasis komunitas ICT Center) yang selama ini “berjaya” di daerah-daerah mulai direncanakan untuk diganti perannya oleh tim lain bentukan Pustekom. Pustekom membawa vendor besar seperti Intel dan Microsoft. Dulu pak Gatot akrab dengan Cisco (karena memang fokus awal adalah membangun jaringan) dan Sun/Java (open source). Pustekom juga memperkenalkan anggaran versi mereka sebesar Rp 20+ milyar untuk maintenance Jardiknas yang dilihat “miring” oleh pejuang ICT Center yang konon hanya memerlukan Rp 3 milyar untuk melakukannya bersama komunitas yang ada.

Memang saya melihat bahwa salah satu kekuatan konsep sistem yang dibangun pak Gatot HP adalah pada konsepnya yang memadukan pengembangan komunitas daerah, pendorongan kontribusi pemerintah daerah serta kontribusi minimal dari Depdiknas pusat. Sedemikian kuatnya komunitas di daerah, sehingga banyak kegiatan yang akhirnya driver utamanya berhasil di-shift ke daerah dan pemerintah pusat tinggal sekedar “menambah” saja… Paradigma selama ini di hampir semua kegiatan pemerintah pusat, lebih cenderung terpusat dan top-down. Daerah benar-benar dianggap sebagai “dumb terminal” yang tidak perlu didengar pendapatnya.

Ikon pak Gatot HP, pelajaran KKPI (Keterampilan Komputer Pendidikan Indonesia) yang berhasil dibuat dan dijalankan di seluruh SMK se-Indonesia kemudian direncanakan untuk diganti dengan muatan yang dibawa Intel dan Microsoft.

Menurut saya sih wajar lah… disini selalu terjadi hal demikian ketika pimpinan berganti.

Namun akankah kemelut ini berlanjut dan mengancam keberadaan Jardiknas? Mudah-mudahan tidak. Biar bagaimanapun, secara nyata Jardiknas dengan segala kelemahannya adalah suatu hasil yang terbukti telah menjadi pionir dari berbagai perubahan di dunia pendidikan Indonesia dalam melihat TKI untuk membantu meningkatkan kualitas pendidikan kita. Sayang sekali jika harus mati sia-sia… terutama keberadaan komunitasnya serta semangat kebersamaannya yang sangat tinggi…

Tulisan asli di http://madriyanto.wordpress.com/2008/04/12/jardiknas-dan-kisruh-pengelolaanya/

Post a Comment

0 Comments